Salah satu parameter keberhasilan film Indonesia adalah jumlah penonton. Film yang berhasil menembus angka satu juta penonton dianggap sukses. Walau hal itu balik lagi apakah jumlah tersebut mampu menutup biaya produksi sampai akhirnya profit.
Bahkan sebenarnya tidak sedikit produser film memiliki target moderat agar balik modal, karena budget produksi tidak terlalu besar. Ernest Prakasa ketika membuat Ngenest hanya berharap sekitar 300.000 penonton. Kenyataannya angka 780.000 berhasil ditembus.
Sama halnya dengan film My Stupid Boss. Produser hanya minta angka moderat tidak lebih dari satu juta. “Waktu itu saya diminta untuk setidaknya 500.000 saja. Okelah saya kerjain. Kenyataannya tembus tiga juta. Siapa yang nyangka,” ujar sutradara Upi Avianto dalam gelaran Ideafest 2017 beberapa waktu lalu di Jakarta.
Apa yang diutarakan Upi memang beralasan. My Stupid Boss masih kalah high profile dibanding dengan AADC 2 yang diputar beberapa minggu sebelumnya. Tapi dalam hal jumlah penonton hanya beda sekitar 600.000 ribu saja dengan AADC 2 sekitar 3,6 juta.
Salah satu kunci sukses menurut Upi adalah marketing. Dalam hal ini positioning dan segmentation. Ketika diberi mandat membuat My Stupid Boss, produser berharap bisa menargetkan penonton kelas B dan C ke bawah. Namun setelah rampung, film ini dianggap lebih cocok ditonton kelas B ke atas sampai A.
“Saya katakan kepada produser, oke ini film buat kelas A. Ya sudah targetkan aja kelas A, jangan yang lain. Penyakit film Indonesia adalah mereka buat promosi ke semua segmen. Ya ga bakalan dapet. Karena setting-nya kantoran, akhirnya kami sasar pegawai kantoran. Itu aja, ga ada yang lain. Di medsos pakai hashtag #nontonbarengsekantor. Ternyata berhasil,” kenang Upi.
Beda cerita dengan film Kartini yang sedari awal dianggap high profile karena selain nama Kartini sudah mendarah daging buat masyarakat, ada nama Dian Sastro di sana. Sayang sekali film ini dianggap kurang sukses. Dalam akun media sosialnya, Dian pernah share bahwa Kartini “hanya” ditonton sekitar 500.000 penonton.
Angka itu di luar ekspektasi karena dengan segala faktornya, Kartini diharapkan tembus satu juta. “Jadi kalau kita bicara biopik, ternyata susah dijual. Karena itu sejarah dan pasar Indonesia masih senang menonton film yang isinya fun saja. Nyari seneng tapi agak susah dibawa mikir,” ujar produser Robert Ronny.
Ada dua faktor yang membuat Kartini tidak meraup penonton dalam jumlah masif. Menurut Robert, yang pertama adalah faktor kedaerahan. Kartini sejatinya mengangkat budaya yang sangat Jawa. Tidak heran di Pulau Jawa mendapat sambutan hangat, namun berbanding terbalik dengan di luar Jawa.
Penonton Indonesia dianggap masih memiliki rasa kedaerahan kental. Ketika disajikan tontonan yang bukan berbau budaya daerahnya, minat menonton menurun. Yang kedua adalah Kartini tidak menarik penonton remaja. Padahal menurut Ronny segmen inilah pangsa terbesar pasar film lokal. Kembali lagi, ini soal minat penonton muda yang mencari hiburan ringan ketika masuk bioskop.
“Di kita banyak yang buat film tidak perhatikan kualitas cerita. Padahal itu benang merah film. Namun di Indonesia yang penting fun dan promosinya ramai, langsung jadi. Tapi kalau ditanya apakah ada formula untuk me-marketing-kan film agar berhasil, jawabannya tidak ada,” sambung Ronny.
Upi pun setuju dengan Ronny. Soal pakem marketing kalau film ingin sukses di Indonesia tidak bisa ditebak. Makanya tidak heran belum ada konsultan marketing khusus film. “Kalau ada satu aja dulu, pasti bakalan dipake banyak film,” yakinnya. MarketKaskus