ULASAN: Gundala – Tiga Pertanyaan Untuk Sang Putra Petir

Film Gundala bercerita tentang Sancaka yang hidup di jalanan sejak orang tuanya meninggalkannya. Menjalani kehidupan yang berat, ia memikirkan keselamatannya sendiri untuk bertahan hidup.

Ketika keadaan kota makin buruk dan ketidakadilan berkecamuk di seluruh negara, Sancaka harus memutuskan, apakah dia terus hidup menjaga dirinya sendiri atau bangkit menjadi pahlawan bagi mereka yang tertindas.

Gundala diperkenalkan lewat seri komik Gundala Putra Petir karya Hasmi yang pertama kali rilis pada 1969. Ia diceritakan sebagai insinyur bernama Sancaka yang berambisi mencari serum anti petir.

Alih-alih menemukan serum, Sancaka malah tersambar petir hingga mempertemukan dirinya dengan Raja Petir Kronz. Kronz mengangkat Sancaka menjadi anaknya dan memberikan kalung ajaib yang dapat mengubah dirinya menjadi manusia super.

  • Judul: Gundala
  • Pemain: Abimana Aryasatya, Tara Basro, Bront Palarae, Ario Bayu, Lukman Sardi, Arswendi Nasution, Pritt Timothy, Aqi Singgih, Donny Alamsyah, Tanta Ginting, Dhimas Danang, Muzakki Ramdhan, Marissa Anita, Rio Dewanto, Putri Ayudya, Zidni Hakim, Cecep Arif Rahman, Hannah Al Rashid, Asmara Abigail, Pevita Pearce, Sujiwo Tejo dan masih ada lainnya.
  • Sutradara: Joko Anwar
  • Penulis Naskah: Joko Anwar

#MariKitaUlas Seperti yang kita lihat sekilas dalam trailer film, Joko Anwar menggunakan origin story yang panjang untuk menceritakan asal-usul Sancaka dari awal hingga menjadi Gundala. Penonton diajak untuk melihat Sancaka cilik yang dipenuhi dengankesulitan, bagaimana rentetan konflik dan tragedi membawanya pada kehidupan jalanan yang kejam dan penuh dengan kekerasan.

Setelah melihat bagaimana tragedi Sancaka cilik dibangun, mustahil rasanya bagi saya untuk tidak membandingkannya dengan origin story dari Magneto, seperti yang terlihat di film X-Men: First Class. Ambience hampir serupa, ada banyak orang dalam satu tempat, ada konflik dengan petugas keamanan, ada anak kecil, suasana sedang gelap dan hujan serta dipenuhi dengan lumpur. Saya pikir Joko Anwar akan mengambil plot yang serupa, yaitu dengan memperlihatkan kekuatan Sancaka cilik dalam bentuk overture yang singkat, padat, mudah dimengerti dan langsung membangun mood penonton kedepannya tanpa rasa bingung.

Sayangnya, Joko Anwar malah menempuh jalan cerita yang lebih panjang. Overture film dibagi menjadi dua bagian yang berbentuk dua adegan demo yang dijeda. Mungkin dia ingin menciptakan koneksi emosional yang kuat dengan cara menceritakan tragedi secara lebih detail, tapi yang saya dapat hanyalah adegan demi adegan yang terasa sangat datar. Ditambah lagi dengan adegan klimaks yang menurut saya mengecewakan, bikin bingung dan minim logika adegan.

Ya, respon yang diperlihatkan oleh Sancaka saat klimaks tragedi bukanlah respon yang bisa diterima dengan logika saya. Kenapa tiba-tiba Sancaka memegang tameng milik petugas keamanan? Apa tujuan dia memegang tameng tersebutnya? Untuk mematahkannya? Jika saya menjadi Sancaka, yang paling mungkin saya lakukan adalah menggoyang-goyang tubuh ayahnya, memukul badan dan dada ayahnya, atau memukul lantai sembari menangis. Tidak pernah terpikir oleh saya untuk mengambil perisai, berdiri, dan berusaha mematahkan atau memecahkan perisai tersebut.

Dan ga cuman itu, ada banyak sekali adegan minim logika yang diperlihatkan di film Gundala ini. Contoh yang paling membuat saya bingung adalah saat Sancaka kabur dan masuk mobil orang kaya, dan orang tua tersebut langsug memberikan narasi ingin mengangkat Sancaka menjadi anak, meyakinkan dia kalau dia akan hidup nyaman dan bisa menjadi apapun yang Sancaka inginkan. Saat adegan ini muncul, pikiran saya langsung merespon “Di dunia mana hal ini bakal beneran kejadian?”

Padahal respon yang tepat seperti ‘kenapa kamu dikejar’, ‘mau turun dimana’, atau ‘ayo kita ke kantor polisi’ sudah diucapkan, kenapa harus ditambah dengan narasi ‘mulai sekarang kamu tinggal sama kami’ dan janji-janji manis layaknya percakapan orang tua dengan anak kandung? Sancaka dan orang tua tersebut baru bertemu pertama kali di mobil lho, apa tidak janggal langsung diajak atau bahkan diangkat jadi anak?

Inilah yang saya maksud sebagai logika adegan, apakah narasi atau tindakan satu karakter bisa diterima dengan logika sederhana.

Ada banyak sekali sebenarnya momentum-momentum yang entah kenapa logika adegannya ga masuk ke pikiran saya. Mulai dari hal kecil seperti narasi yang dibangun oleh karakter orang tua di mobil tadi, hingga grand plot yang dipakai yaitu tentang serum amoral. Saya dan mungkin ratusan penonton lainnya bertanya, kenapa sih grand plot yang dipakai harus mengangkat serum amoral? Kenapa tidak dibuat racun yang akan mematikan janin yang jelas akan menciptakan kepanikan serta urgensi yang sangat mendesak? Memangnya ada ya, obat atau serum yang langsung mempengaruhi bagian otak janin agar menjadi amoral? Bukankah moral dan amoral masuk ranah filsafat, bukan langsung masuk ranah medis?

Selain logika adegan yang minim, satu hal lain yang paling mengganggu saya adalah bagaimana transisi dan sinkronisasi antar adegan ditampilkan. Mungkin bukan hanya saya saja yang merasakan, tapi saya merasa hampir 80% transisi adegan dibuat dengan kasar dan terkesan loncat-loncat. Akibatnya, saya sebagai penonton tidak bisa menikmati cerita dengan lembut, tidak mengalir, dan tidak jarang membuat saya kebingungan di setiap adegan. Pertanyaan seperti ‘Eh ko malah gitu sih?’ atau ‘Loh, kenapa tiba-tiba gini?’ selalu muncul sepanjang film, terutama saat logika adegan minim dan membuat saya kebingungan. Apalagi saat tiba-tiba muncul adegan filler yang tidak berdampak langsung dengan cerita, seperti beberapa adegan horor misalnya.

Jujur, saya tidak tahu kenapa Joko Anwar memasukan flick horor ke dalam film Gundala ini. Saya bisa menerima flick horor ini jika digunakan untuk memperlihatkan kekuatan karakter, seperti adegan hipnotis yang diperankan oleh Ari Tulang. Sifatna memang wajib dan perlu karena bersinggungan langsung dengan plot cerita. Tapi kenapa harus memakai flick horor saat Sancaka sedang bermimpi? Apakah untuk memperjelas seberapa berat trauma yang dia alami? Jika iya, kenapa flick horror ini mendadak ‘hilang’ ditengah cerita dan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengembangan karakter Sancaka di akhir film?

Saya awalnya menduga flick horror ini akan dijadikan beban trauma mendalam seperti yang saya lihat di film King Arthur: Legend of The Swords, dimana trauma tersebut terus dibawa dari awal hingga akhir film dan menjadi sub-plot yang pivotal. Saya pikir trauma ini akan menjadi penguat atau pemacu Sancaka saat menjadi Gundala, namun nyatanya hanya menjadi adegan filler untuk memasukan ‘tanda tangan’ Joko Anwar semata. Keren sih emang, tapi menurut saya konteksnya ga pas dengan cerita film Gundala.

Mana Kekuatan Supernya?
Gundala, adalah tokoh yang diangkat dari komik buatan Hasmi yang terinspirasi dari tokoh legenda jawa Ki Ageng Selo, seorang sosok sakti yang mampu menangkap petir dengan tangannya. Joko Anwar kemudian berusaha menghidupkan karakter komik ini menjadi nyata, dengan memperlihatkan bagaimana seorang Sancaka cilik bisa bertransformasi menjadi Gundala sang Putra Petir.

Tapi setelah saya selesai menonton film ini, muncul satu pertanyaan yang mengganggu pikiran saya: “Mana kekuatan supernya?”

Saat masuk ke ruangan bioskop, salah satu ekspektasi saya adalah melihat Gundala mengeluarkan kekuatan petir untuk mengalahkan banyak musuh-musuhnya. Saya sudah bisa membayangkan Gundala meloncat kesana kemari, melakukan manuver sambil mengeluarkan petir dari tangannya untuk menyetrum musuh dihadapannya. Lengkap dengan nuansa gelap dan hujan yang dikombindasikan dengan adegan bertarung tangan kosong yang seru. Tidak lupa juga saya berharap untuk bisa melihat kekuatan spesial yang dimiliki oleh Gundala, satu ‘jurus’ besar yang bikin saya kagum dengan selalu ingat kekuatan petir Gundala, Sang Putra Petir.

Namun sayangnya, semua itu tidak terjadi. Saya tidak melihat kekuatan super yang dimiliki Gundala sesuai dengan ekpektasi saya. Saya tidak melihat percikan-percikan listrik liar yang dikeluarkan oleh Gundala. Yang saya lihat sepanjang film hanyalah adegan bertarung tangan kosong layaknya film aksi biasa, jauh dari kesan superhero sama sekali.

Saya pribadi merasa hal ini terjadi akibat Joko Anwar terlalu fokus pada world building dan tema cerita, tapi justru lupa dengan detail karakter dari Gundala itu sendiri. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana dia membangun grand plot dan sub-plot yang begitu luas, bagaimana dia membangun persepsi penonton tentang konflik sedetail mungkin tapi lupa membangun koneksi personal karakter dengan penonton.

Jika kita berkaca dari film Iron Man yang pertama, kita bisa merasakan koneksi emosional dengan Tony Stark setelah melihat bagaimana dia jatuh bangun dipenjara bersama Yinsen, bagaimana mereka berdua membangun Iron Suit Mark 1 yang terlihat sangat jelek untuk melawan barisan pasukan teroris. Dan akhirnya, kita bisa melihat dan merasakan pengorbanan yang dilakukan oleh Yinsen agar dia bisa keluar dari penjara.

Setelahnya kita juga diperlihatkan bagaimana Tony Stark menggunakan kekuatan yang baru diperolehnya tahap demi tahap, bagaimana dia bereksperimen, bagaimana dia membuat kekuatannya menjadi optimal walaupun diterpa dengan banyak resiko dan kegagalan. Hasilnya efektif, kita bisa melihat asal muasal kekuatan Iron Man secara detail sekaligus ikut merasakan betapa manisnya kekuatan yang dia dapatkan, setelah melewati perjuangan yang begitu berat dan panjang.

Tapi di Gundala, kita tidak melihat proses semacam ini. Kita tidak melihat dengan detail proses Sancaka cilik menjadi seorang pahlawan super bernama Gundala. Kita tidak melihat bagaimana Sancaka bereksperimen dan melakukan trial and error dengan kekuatannya. Kita tidak melihat Sancaka membangun ‘Mark 1’ versinya sendiri, yang bakalan bikin penonton tahu dengan detail perjuangan Sancaka menjadi Gundala. Coba saya tanya, ada yang tahu bagaimana kekuatan Gundala bekerja? Apakah ada hubungannya dengan luka dikupingnya? Bagaimana proses Gundala menyalurkan listrik dari tubuhnya secara detail? Semuanya masih samar bukan?

Saya sebenarnya sangat berharap bisa melihat Sancaka bereksperimen membuat kostum awalnya sendiri seperti yang kita lihat di film Spiderman pertama versi Tobey McGuire, saat dia bertarung melawan pegulat dengan menggunakan kostum yang jelek dan dibuat seadanya. Memang ada sih sekilas, seperti saat bagaimana Sancaka membuat kostum dari bahan-bahan di sekitar pabrik, tapi itu jauh dari kata cukup. Kita ga ngeliat proses dari titik nol ke titik satu dengan detail, kita ga ngeliat kostum jelek versi Gundala, kita ga melihat perkembangan kekuatan Gundala yang menurut saya efeknya udah jelas, bakalan bikin penonton ga punya koneksi emosional yang kuat kedepannya.

Sangat disayangkan detail-detail kecil ini luput dari film Gundala. Joko Anwar lebih memilih menggunakan konflik dan tragedi untuk membangun karakter Sancaka, karena memang secara logika dampaknya akan lebih besar pada plot dan world building di film Gundala ini. Padahal ya, tanpa adanya proses yang diperlihatkan dengan detail seperti yang ditampilkan di Iron Man 1, Gundala hanya akan menjadi karakter yang asal lewat saja di benak penontonnya. Setidaknya, itu yang saya rasakan secara pribadi.

Kenapa Dengan Penjahatnya?
Entah kenapa, saya merasa Pengkor sebagai tokoh antagonis utama punya backstory yang jauh lebih baik ketimbang Sancaka. Dia mendapatkan cerita backstory yang padat dan jauh lebih singkat, dipakai sepanjang film dan bersinggungan langsung baik dengan grand plot maupun sub-plot. Kemampuan dan pengaruh yang dimiliki Pengkor juga lebih konkrit ketimbang Sancaka, begitu juga dengan sifat dan motivasi yang dia punya.

Satu-satunya kekurangan dari Pengkor hanyalah sisi jahat diperlihatkan secara setengah-setengah. Sedari awal, kita bisa melihat dualitas persona yang dimiliki Pengkor; Pengkor yang berlagak sebagai rakyat, dan Pengkor yang bertindak seperti bos mafia. Dua hal ini terlihat dan terjaga konsisten sepanjang film, namun sayang eksekusi akhirnya kurang sempurna. Kita hanya bisa merasakan sepercik ‘aura’ licik dari dirinya, yang padahal bisa diperlihatkan lebih banyak melalui gestur tubuh yang santai, emosi lebih tenang, dan adegan kematian yang lebih ‘memuaskan’. Saya berpikir Pengkor akan ‘menang’ dengan puas di akhir hayatnya, persis seperti apa yang terjadi dengan Joker di film The Dark Knight.

Tapi tetap, buat saya Pengkor mengalahkan Sancaka dari sisi desain karakter dan background cerita. Kita melihat dengan jelas dan detail tentang apa yang bisa dilakukan oleh Pengkor, kekuatan apa saja yang dia miliki dan bagaimana cara dia menggunakan kekuatannya tersebut. Sub-plot pasukan anak yatim yang dia miliki benar-benar membuat grand plot menjadi lebih berwarna, lebih greget, dan membuat konflik cerita menjadi lebih menegangkan.

Sayangnya, desain karakter yang baik dari Pengkor tidak ‘menular’ pada elemen cerita lainnya. Ada begitu banyak adegan konflik yang diperlihatkan tidak memiliki logika adegan yang cukup, yang jelas bakalan bikin penonton bingung. Contohnya, adegan ‘pengambilan’ darah Sancaka yang datang tanpa ada narasi sebelumnya. Adegan tiba-tiba muncul, Sancaka tiba-tiba bertarung dengan preman, darahnya tiba-tiba diambil oleh entah siapa dan adegan tiba-tiba berakhir, tidak jelas bagaimana adegan tersebut ditutup dan apa dampaknya pada pertarungan yang sedang dilakukan Sancaka. Aneh bukan?

Dan kalau kita berbicara hal yang mengecewakan dari film Gundala ini, sudah jelas adegan laga di sepanjang film yang menjadi juaranya. Setelah melihat trailer film Gundala yang jelas dibuat dengan ciamik, saya langsung berekspektasi tinggi dan berharap adegan laga yang ditampilkan mirip seperti film The Raid. Saya berharap bisa melihat pertarungan yang dahsyat, penuh adrenalin, diperlihatkan dengan jelas dan dapat dinikmati dengan detail.

Tapi alih-alih mendapatkan adegan laga berkualitas tinggi, Gundala malah memperlihatkan pertarungan yang sangat kaku, tanpa intensitas dan jauh dari kesan realistis. Sangat terlihat kalau aktor yang berlaga ‘berhitung’ saat melakukan adegan pertarungan, membuat setiap gerakan terlalu detail seperti koreografi dan tidak terasa alami. Belum lagi Gundala yang selalu bertarung tanpa memperlihatkan kekuatannya, bikin adegan pertarungan kerasa hambar dan membosankan. Dan parahnya, adegan laga seperti ini terus menerus diulang-ulang dari awal hingga akhir film.

Hal lain yang bikin saya garuk-garuk kepala adalah bagaimana desain karakter protagonis sekunder dibuat, yang dalam film ini adalah para ‘jenderal’ pasukan anak yatim yang ditelepon oleh Bapak secara langsung, seperti Camar, Tanto Ginanjar, dan karakter yang diperankan oleh Ari Tulang. Saya akui gimmick yang dipakai bagus, memperlihatkan dengan jelas kalau setiap anak yatim punya kemampuan spesialnya masing-masing yang khas dan berbeda, lengkap dengan senjata atau perlengkapan khusus yang mereka punya.

Secara konsep, karakter yang dibuat beragam seperti ini memang keren. Tapi sayangnya, eksekusi saat dimasukan kedalam plot cerita masih jauh dari sempurna. Karena balik lagi dengan masalah sebelumnya, adegan laga yang dilakukan oleh para ‘jendral’ pasukan yatim ini dibuat dengan sangat kaku dan membosankan. Sama sekali tidak terlihat kalau mereka lagi berantem beneran, yang keliatan adalah latihan koreografi yang ga ada kesan realistisnya. Sampai akhirnya saya sempet ngomong sama diri; “Ini ekspektasi saya yang terlalu tinggi atau memang adegan laga dibuat dengan kualitas seadanya?”

Tapi untungnya, adegan Ghazul yang membebaskan Sujiwo Tejo sebagai Ki Wilawuk membuat saya kembali optimis, kembali yakin bahwa perjalanan Gundala masih panjang. Apalagi ditambah adegan saat Pevita Pearce masuk dengan momentum dan aksi yang tepat sebagai Sri Asih, hype penonton langsung naik dan tidak sabar untuk melihat kelanjutan cerita dari para tokoh Jagad Sinema Bumilangit kedepannya. Lumayan untuk melupakan sejenak rasa bosan dari melihat pertarungan sebelum-sebelumnya.

Saya sangat mengerti dan bisa melihat kalau Joko Anwar masih ‘meraba’ sambil meracik teknik storytelling yang tepat untuk membangun Jagad Sinema Bumilangit. Saya juga mengerti, kalau Gundala adalah pintu gerbang pertama yang mustahil bisa dibuat dengan sempurna. Masih diperlukan banyak percobaan, masih perlu banyak waktu untuk mendapatkan ‘ramuan’ khas Jagad Sinema Bumilangit yang bisa menghipnotis penonton Indonesia di masa depan.

Meskipun saya merasa film Gundala masih banyak kekurangan, saya pribadi sangat optimis kalau Jagad Sinema Bumilangit dapat sukses layaknya Marvel Cinematic Universe, setidaknya untuk pasar Indonesia. Semoga saja Joko Anwar dan seluruh kru tetap mempertahankan idealisme mereka, semoga saja penonton-penonton tidak bosan untuk selalu memberikan saran, membantu membangun dan membuat maju film-film superhero di Indonesia. (P/Watchmenid)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *