Ada satu kenyataan yang menyedihkan mengenai kepemilikan rumah di Indonesia. Menurut data BPS, tingkat kepemilikan rumah di Indonesia mencapai 78,7 persen. Itu jika anda percaya dengan tingkat validitas data BPS. Bila membandingkan dengan data terbuka yang disajikan oleh Wikipedia, Indonesia tidak masuk di antara daftar 49 negara yang ada di ensiklopedia daring tersebut.
Adapun negara dengan tingkat kepemilikan rumah tertinggi, peringkat satu diduduki oleh Rumania, salah satu negara makmur di Eropa Timur. Nah, tetangga kita, Singapura bertengger di peringkat kedua sebagai negara dengan tingkat kepemilikan rumah tertinggi di dunia. Ini yang akan kita bahas.
Untuk diketahui, pada tahun 1960 sebanyak 70% penduduk Singapura adalah pemukim liar alias homeless (tunawisma). Kira-kira mirip yang jamak kita saksikan di Jakarta saat ini. Mereka tidak punya rumah, hanya tinggal di kampung-kampung kumuh dan kantong-kantong kemiskinan.
Tahun 1985, terjadi transformasi dramatis. Para tuna wisma ‘menghilang’. Bukan karena sulap. Tapi berkat kebijakan pemerintah yang berfokus pada dua hal. Pertama, meningkatkan kelayakan hidup (livability). Dan kedua, merancang pembangunan yang mengusung prinsip keberlanjutan (sustainability). Saban tahun, Singapura selalu bertengger di posisi sembilan sebagai The 10 Most Livable Countries
Ada lima hal yang kita petik dari perencanaan pembangunan Singapura sehingga negara kota tetangga sebelah itu bisa berubah secara ekstrim. Dari negara dengan tingkat tunawisma tertinggi, menjadi negara dengan tingkat home ownership tertinggi kedua di dunia.
Pertama, perencanaan yang konsisten dan pengembangan bertahap
Singapura adalah negara disiplin, termasuk dalam pengelolaan pemerintahan dan rancangan bangun kota. Pembangunan Singapura mengacu pada Rencana Induk yang diperkenalkan pada tahun 1958 dan diupdate rutin setiap 5 tahun.
Rencana Induk tersebut diperhitungkan dengan mengacu pada perubahan tren lokal dan global, sehingga tetap relevan untuk menjawab tantangan masa depan dan memenuhi kebutuhan Singapura.
Kedua, menyadari wilayahnya yang kecil, maka pembangunan dirancang untuk layak pada tingkat kepadatan tertentu
Hal ini terefleksi pada ruang-ruang publik Singapura yang secara organik bisa mengorganisir dinamika manusia. Tempat wisata atau kawasan-kawasan padat, dibangun menghijau dengan konsep garden city.
Ketiga, sentuhan alam yang kuat
Alam Singapura – majalahbatu.com |
Wilayah kecil dengan hutan beton dan gedung tinggi menjulang, bukan berarti harus gersang. Singapura membuktikan, mereka bisa menata wilayah yang tingkat kepadatannya 7.987/km² dengan tetap memperhatikan unsur-unsur alam.
Berbeda dengan Indonesia, alam nan indah malah banyak terbengkalai. Peran pengelolaan unsur-unsur alam secara modern, justru dilakoni oleh swasta. Dalam hal hunian misalnya, pengembangan Orchard Park Batam (berjarak tempuh hanya 45 menit dari pusat Singapura) mengembangkan konsep one stop green living. Yakni harmoni kehidupan yang menyatukan unsur-unsur alam dalam kehidupan sehari-hari.
Tak hanya itu, konsep one stop green living juga diwujudkan dengan membangun berbagai fasilitas seperti pertokoan, perkantoran hingga pendidikan sehingga para penghuni kawsan tak harus berkendara ke luar jauh-jauh untuk memenuhi kebutuhan. Konsep ‘isolasi’ ini, selain efisien, juga menjadi langkah taktis memelihara lingkungan dengan berkurangnya polusi.
Konsep green living atau disebut oleh pemeritah sebagai sustainable development ini sudah mainstream di kota-kota dunia dan negara-negara maju yang meraih predikat livable country maupun livabel city.
Keempat, membangun interaksi yang kuat di tengah kemajemukan para penghuni residential, terutama apartemen/flat
Apartement Singapura – media.rooang.com |
Memang, sebanyak 8 dari 10 penduduk Singapura adalah penghuni apartemen. Ini berarti jika sebagian besar dari mereka dapat bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai ras dan budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep seperti ini mungkin sudah banyak kita saksikan di kehidupan vertikal Ibu Kota. Misalnya kehidupan di apartemen Kalibata City yang cukup ternama, interaksi antar penghuni dirangsang dengan keberadaan community point. Antara lain ada café, restoran, gym & social club, play ground anak, hingga berbagai fasilitas olah raga. Kompas,com menyebut apartemen subsidi yang dibangun Agung Podomoro ini ala rusunami yang berkelas.
Kelima, menjadikan rumah sebagai tempat dimana hati dan segala sesuatunya berada
Wonderfull Singapura – batourtravel.com |
Tetangga yang baik dan lingkungan yang nyaman adalah suplier energi bagi manusia. Jika fasilitas untuk menggapai kenyamana tersebut ada di tengah-tengah lingkungan, maka buat apa bepergian jauh membuang-buang waktu dan uang. Itulah prisip residen di Singapura. Pemikiran tersebut membantu mengurangi kepadatan di luar sekaligus menghemat energi. Demikianlah jika sebuah wilayah menjadi rumah bagi banyak manusia.
Konsep kota atau satu kawasan sebagai rumah, mulai diadopsi dalam pembangunan kawasan pemukiman di Indonesia. Dalam skala lebih luas, seperti kota mandiri BSD City atau kawasan middle area seperti Superblok Podomoro City, anda tak perlu jauh-jauh jika sekadar hanya berekreasi. Karena di kawasan tersebut banyak fasilitas rekreasi untuk indvidu, keluarga maupun komunitas. Di Podomoro City misalnya, ada taman super luas dan nyaman, Tribeca Park untuk menghirup udara segar di pagi hari. (TLD#1)hamzahnasution9