Saya akan menyampaikannya terlebih dahulu: film ini aman dari adegan gay. Karakter Josh Gad bernama LeFou, kaki tangan antagonis utama yang katanya gay, tak melakukan sesuatu yang mengindikasikan bahwa ia gay. Well, ada sih, tapi itupun hanya sekian detik. Kecuali imajinasi anda sudah berkeliaran sejak awal, saya pikir tak sedikitpun anda akan terbayang akan hal tersebut. Okay, moving on.
Beauty and The Beast – http://movies.disney.co.uk |
Beauty and the Beast adalah permainan paling standar dan aman dari Disney dalam proyek panjang untuk mengadaptasi animasi klasik mereka ke versi live-action. Ini adalah remake langsung dari animasinya yang dirilis tahun 1991. Film ini tak seberani Alice in Wonderland, Maleficent atau Pete’s Dragon. Oke, live-action Cinderella dan The Jungle Book memang bermain aman juga, namun film-film tersebut punya suntikan pesona dan keseruan (dan imajinasi, kalau dipikir lebih lanjut) yang tak begitu saya dapatkan dalam Beauty and the Beast.
Meski demikian, Beauty and the Beast versi baru ini masihlah film yang bagus dan digarap dengan baik. Apa yang tak bakal kita suka? Dekorasi serta kostumnya cantik, koreografi musikalnya enak dilihat, dan setnya? Well, tata produksi sekelas ini hanya bisa diperoleh dengan dukungan dari studio yang sangat royal. Kastil Beast (atau yang dalam film ini diterjemahkan sebagai “Makhluk Buruk Rupa”) berukuran masif dan punya interior yang detil. Film ini begitu sedap dipandang. Tak ada hal yang benar-benar saya tak suka darinya.
Mungkin kurang adil jika membandingkannya dengan versi animasi yang sedemikian fenomenalnya hingga dinobatkan sebagai nominee Best Picture Oscar (dan itu adalah film animasi!). Namun patut disoroti bahwa versi baru ini boleh dibilang mengopi setiap bit dari materi sumbernya, bahkan mereka-ulang beberapa syut tertentu. Di beberapa titik saya tersapu dengan nostalgia, namun di banyak titik saya merasa bahwa some magic lost in translation.
Sedikit ironis. Film live-action yang menampilkan manusia sungguhan (dengan bantuan sihir CGI, tentu saja) kurang terasa hidup jika dibandingkan dengan animasi yang notabene merupakan coretan berwarna di atas kanvas. Saya rasa salah satu alasannya adalah karakteristik tokoh pembantu berupa perabot-perabot magis yang sangat fantasi dalam animasi yang dirubah menjadi… uhm lebih realistis. Tenang, mereka masih bisa bicara seperti manusia, bahkan punya porsi lebih banyak dibanding dua karakter tituler, tapi desainnya kali ini lebih mirip perabot sungguhan. Hilang sudah wajah-wajah ekspresif mereka. Beban hampir sepenuhnya ditanggung oleh pengisi suara mereka.
Plotnya masih sama. Belle (Emma Watson) adalah gadis cantik kembang desa yang tak begitu disukai warga karena ia seorang kutu buku. Tapi tunggu dulu, tak semua orang membencinya. Adalah Gaston (Luke Evans), seorang pria idaman wanita yang tak hanya suka tapi terobsesi untuk menjadikan Belle sebagai istrinya. Rahang tangguh dan hidung mancung Gaston tak membuat Belle terpedaya.
Ketika ayah Belle, Maurice (Kevin Kline) hilang di hutan, Belle menemukan bahwa sang ayah ternyata telah menjadi tawanan dari Beast dan dikurung di kastil di tengah hutan. Belle bersikeras menggantikan posisi sang ayah. Bukan rahasia lagi kalau Beast ternyata adalah seorang pangeran tampan (dalam wujud Dan Stevens) yang berubah menjadi makhluk buruk rupa gara-gara kutukan penyihir. Yeah, it’s a classic Disney’s plot device.
Satu-satunya yang bisa melenyapkan kutukan tersebut adalah cinta sejati, pastinya. Namun tak ada yang boleh memberitahu Belle bahwa kutukan akan menjadi permanen saat kelopak mawar terakhir yang disimpan di bagian barat istana gugur. Jadi para perabot yang terdiri dari lampu lilin Lumiere (Ewan McGregor), jam meja Cogsworth (Ian McKellen), teko Mrs Potts (Emma Thompson), lemari baju (Audra McDonald), piano (Stanley Tucci), dkk berusaha mencomblangi keduanya agar sang pangeran dan mereka bisa kembali menjadi manusia sebelum terlambat.
Semua aktor ternama ini memberikan emosi semaksimal mungkin bagi karakter masing-masing hanya lewat suara, setidaknya sampai adegan penutup. Tak ada performa yang mengecewakan, dan ternyata mereka juga bisa menyanyi. Begitu pula dengan Emma Watson dan Dan Stevens. Watson tak canggung menjadi princess Disney, Stevens punya mata biru yang akan membuat wanita meleleh (sebagian besar penonton wanita yang menonton bersama saya ber-ahh ria saat muka Stevens nampang menjelang akhir) dan keduanya tampak sebagai pasangan serasi. Namun mereka tak standout. Sorotan saya justru menjadi milik Evans yang memang sudah punya tampang template pangeran Disney yang memberikan energi antagonistik yang kuat.
Lagu-lagu yang digunakan dalam film ini adalah lagu lama dari film animasi, kecuali tambahan 3 lagu baru yang sejujurnya, tak ada yang berkesan. “To Be Our Guest” menjadi lagu paling menarik dengan sekuens edan yang bisa disandingkan dengan “Shiny”-nya Moana. Karakter lilin McGregor bernyanyi dan menari bersama dengan perabot, piring, garpu, dan perlengkapan meja makan lainnya diiringi dengan visual yang psikedelik tapi terlihat spektakuler secara visual. Lagu “Beauty and the Beast” dirancang mirip dengan sekuens aslinya, namun tentu saja tidak dengan kekuatan magis yang setara.
Sutradara Bill Condon bukan orang baru dalam hal film musikal; ia pernah menangani Dreamgirls. Ia juga tahu bagaimana cara untuk membuat penonton kagum dengan keindahan visual. Saat Belle menuruni tangga dengan gaun kuningnya yang menyilaukan untuk bersiap berdansa dengan Beast, mustahil mata kita tak berbinar-binar. Kamera dengan mulus mengikuti gerakan dansa Watson dan Stevens yang luwes.
Sejak adegan pembukanya yang menampilkan sekuens musikal yang masif, film ini memang sudah menunjukkan pesona visualnya, meski saya merasa ada sesuatu yang kurang dari adegan ini. Skalanya besar namun filmnya tak begitu engaging. Beauty and and the Beast memang jago dalam menggoda. Lebay jika menyebut aftertaste-nya pahit, tapi memang rasanya sedikit hambar. Hasil ulasan film kali ini diulas oleh ULASANPILEM.COM