Hak Kebendaan Yang Bersifat Memberi Jaminan

Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan selalu bertumpu atas benda orang lain, baik benda bergerak maupun benda tak bergerak. Jika benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda bergerak maka disebut hak gadai (pandrecht), sedangkan benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda tidak bergerak maka hak kebendaannya adalah hipotik. Kreiditur yang mempunyai hak gadai dan atau hipotik mempunyai kedudukan preferens yaitu hak untuk didahulukan dalam pemenuhan hutangnya dari kreditur-kreditur yang lainnya (Ps. 1133 BWI). Hak kebendaan yang memberikan jaminan
 
GADAI (Pandrecht)
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu benda bergerak yang diberikan debitur kepadanya sebagai jaminan pelunasan pembayaran dan memberikan hak kepada kreditur untuk mendapat pembayaran lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda tersebut (Ps. 1150 BWI).
 
Pengertian gadai di atas membuktikan bahwa hak gadai adalah tambahan atau buntut dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, dengan tujuan agar kreditur jangan sampai dirugikan apabila debitur lalai membayar kembali uang pinjaman berikut bunganya. Jadi tidak mungkin timbul adanya hak gadai tanpa ada perjanjian pokok berupa perjanjian hutang piutang. Dalam hukum Romawi terdapat semacam hak gadai yang dinamakan fidutia, yaitu suatu pemindahan hak milik dengan perjanjian bahwa benda akan dikembalikan apabila si berhutang sudah membayar lunas hutang dan bunganya. Selama hutang belum dibayar kreditur menjadi pemilik benda yang dijaminkan itu. Sebagai pemilik, ia berhak menyuruh memakai atau menyewakan benda itu kepada debitur sehingga orang yang berhutang ini tetap menguasai bendanya. Hak gadai senantiasa melekat meskipun hak milik atas benda itu jatuh ke tangan orang lain seperti ahli warisnya.
 
 
 
 
Hipotik
Tentang hipotik ini sepanjang yang diatur dalam BWI, terletak di dalam Buku II titel XXI Ps. 1162 – 1232. Namun sebagaimana telah dikemukakan dengan berlakunya UUPA maka ketentuan di dalam Buku II BWI, sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dinyatakan tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.
 
Sampai sejauh mana ketentuan-ketentuan mengenai hipotik dalam Buku II BWI hingga kini masih diyakini masih berlaku ? Secara garis besar dapat dikatakan, sepanjang ketentuan dalam Buku II tesebut mengatur tentang hak dan kewajiban pemberi dan pemegang hipotik, azas-azas hipotik, maka ketentuan-ketentuan itu masih berlaku.
 
Sedangkan ketentuan yang mengatur tentang cara pembebanan hipotik, cara pendaftaran hipotik, cara peralihan hupotik dan obyek serta subyek hipotik diberlakukan ketentuan yang terdapat di dalam UUPA serta peraturan-peraturan pelaksanaannya :
a. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah;
b. Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pejabat Pembuat Akta
Tanah;
c. Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pembebanan dan
Pendaftaran Hipotik dan Credietverband;
d. Surat Keputusan Direktur Jenderal Agraria Nomor 67/DDA/1968 tentang Bentuk
Buku Tanah dan Sertifikat Hipotk dan credietverband;
e. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1978 tentang Biaya Pendaftaran
Tanah.
 
Beberapa sifat yang terdapat dalam hipotik adalah :
a. Sifat Konvensional, artinya perjanjian pembebanan hipotik harus secara tegas menyatakan hal itu dan dibuat dengan akta otentik;
b. Sifat tidak dapat dibagi (ondeelbaarheid), artinya bahwa hipotik itu tetap berlangsung walaupun sebagian dari hutang telah dibayar;
c. Sifat tetap melekat pada bendanya (zaaksgevolg), meskipun benda yang dibebani hipotik berpindah tangan, hipotik tetap melekat pada benda itu;
 
dSifat mudah dieksekusi, artinya benda yang dibebani hipotik dapat dijual sendiri oleh kreditur atau denan perantaraan hakim, tidak perlu bantuan tenaga penjualan khusus;
e. Sifat didahulukan (droit de preference), artinya pelunasan hipotik lebih didahulukan daripada piutang-piutang lainnya, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang;
f. Sifat accessoir, artinya sebagai pelengkap dari perjanjain pokok yaitu hutang piutang;
g. Bersifat sebagai jaminan, yaitu untuk menjamin pelunasan suatu hutang saja dan tidak
memberi hak untuk menguasai dan memiliki benda jaminan.
 
Azas-azas hipotik
Secara umum dapat dikatakan bahwa yang merupakan azas-azas hipotik adalah :
i. Terbuka untuk umum (ovenbaarheid), yaitu bahwa hipotik didasarkan dalam suatu daftar umum supaya dapat diketahui oleh pihak ketiga. Azas ini dikenal pula dengan nama azas publisitas;
 
ii. Azas spesifikasi (specialiteit), artinya bahwa hipotik hanya dapat dibeban-kan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus, berupa apa, berapa luas, berapa besar, jumlah, ukuran, di mana letaknya / batas-batasnya dlsb.
 
Tingkatan-tingkatan hipotik
Sebidang tanah dapat dibebani lebih dari satu hipotik. Susunan urutan dari para pemegang hipotik atas sebidang tanah tertentu didasarkan atas tanggal pendaftaran hipotik pada Buku Tanah di Kantor Pendaftaran Tanah. Kreditur yang hipotiknya dicatat lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dengan ketentuan, bila beberapa pemegang hipotik mendaftarkan hipotiknya pada hari yang sama namun pada jam yang berbeda, mereka mempunyai kedudukan yang sama (Ps. 1181 BWI).
 
Tingkatan hipotik ini penting artinya untuk menentukan hutang siapa yang harus didahulukan
pembayarannya. Kalau benda hipotik dijual, maka pemegang hipotik dibayar dengan uang hasil penjualan itu sesuai dengan tingakatannya. Bilamana hasil penjualan itu tidak cukup untuk membayar semua hutang para pemegang hipotik, maka yang lebih dahulu dilunasi adalah hutang pemegang hipotik pertama. Kalau ada sisanya baru dibayarkan kepada pemegang hipotik kedua, demikian seterusnya sesuai dengan urutan tingkatannya. Tingkatan-tingkatan hipotik tidak hanya berkaitan dengan pelunasan hutang pokok, melainkan sekaligus dengan pelunasan bunga dari hutang pokok tersebut (Ps. 1184 BWI).
 
Hapusnya Hipotik
Berdasarkan Ps. 1209 BWI, hipotik hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a. Hapusnya perjanjian hutang pokok
Kasus ini merupakan cara hapusnya hipotik yang paling sering terjadi dibandingkan dengan cara yang lainnya. Hapusnya perhutangan (perjanjian) pokok mengakibatkan hapusnya hipotik sebagai hak accessoir (Ps. 1381 BWI)
b. Pelepasan hipotik oleh debitur
c. Karena keputusan hakim
Diluar Ps. 1209 BWI tersebut di atas masih terdapat banyak cara lain yang mengakibatkan hapusnya hipotik antara lain :
ii. Karena hapusnya benda yang dihipotikkan
Bilamana suatu hak atas tanah yang dibebani hipotik habis karena jangka waktunya telah selesai maka hipotik atas tanah itu juga menjadi hapus;
iii. Karena adanya percampuran hutang, yakni pemegang hipotik menjadi pemilik benda yang dihipotikkan; dalam hal ini berarti penerima hipotik statusnya juga menjadi pemberi hipotik;
iii. Karena berakhirnya hak dari pemberi hipotik sebagai diatur dalam Ps. 1169 BWI;
iv. Karena berakhirnya jangka waktu hipotik.
Gadai
Hipotik
1. Obyeknya benda bergerak
2. Didasarkan atas perjanjian tertulis atau atau lisan
3. Harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas benda yang dijadikan jaminan;
4. Status tidak berwenang untuk mengasingkan benda yang dijadikan jaminan pada diri pemberi gadai tidak dapat membatallkan gadai;
1. Obyeknya benda tidak bergerak
2. Didasarkan atas perjanjian yang harus dibuat dlam bentuk akta otentik
3. Benda yang dijadikan jaminan tetap berada dalam kekuasaan pemberi hipotik;
4. Pemberi hipotok disyaratkan untuk benar-benar berwenang mengasingkan benda yang dijadikan jaminan
 

 

Dari 3 artike mengenai Rangkuman Mengenai Hukum Perdata – Sifat / Karakter Pada Hak kebendaan dan Hak Kebendaan Yang Bersifat Memberi Jaminan , mempunyai daftar pustaka sebagai berikut :
 
1. Abdulkadir Muhammad, SH, Prof. 2000, “Hukum Perdata Indonesia” , Bandung, PT.Citra Aditya Bakti .
2. F.X. Suhardana ,SH , 2001, “Hukum Perdata I, Buku Panduan Mahasiswa”, Jakarta, P.T.Prenhallindo .
3. R. Subekti, SH, Prof. , 2001, “Pokok-Pokok Hukum Perdata” , Jakarta, P.T. Internusa
4. R. Subekti, SH, Prof. , 2000, “Perbandingan Hukum Perdata” , Jakarta, Pradnya Paramita .
5. Ridwan Syahrani, SH, 2000, “Seluk Beluk Hukum dan Azas-Azas Hukum Perdata” , Bandung, Penerbit Alumni .
6.J,Satrio,SH,1996, “Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan” , Purwokerto, PT Citra Aditiya Bakti.
 
REFERENSI
JUNASAPUTRA.B.COM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.